Recent Post



Masukkan kode HTML yang mau anda instalasi cepat ke widget sidebar anda disini

Ads 468x60px

Selasa, 29 November 2011

MEMBANGUN PEMAAFAN PADA ANAK KORBAN PERCERAIAN

Program Studi Psikologi Universitas Diponegoro Semarang

PENDAHULUAN

         Berkeluarga merupakan salah satu tugas perkembangan yang seharusnya
dilalui oleh setiap individu. Keluarga dibentuk melalui sebuah pernikahan, yaitu
lembaga yang menyatukan laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan untuk hidup
bersama. Walaupun setiap pasangan suami istri selalu mempunyai rencana indah
untuk hidup bersama sampai dipisahkan oleh kematian, namun kenyataan hidup
tidak selalu seindah idealisme yang ada.
         Ikatan sakral dalam pernikahan seringkali harus berakhir dengan
perceraian. Perceraian merupakan pemutusan hubungan pernikahan yang
dilakukan secara sah menurut hukum yang berlaku. Pemutusan tersebut biasanya
didahului oleh timbulnya permasalahan dan konflik yang tidak terselesaikan
antara suami istri, adanya ketidakpuasan, rasa tersakiti yang tidak dapat diatasi
bersama lagi. Sehingga pasangan tersebut mengambil keputusan untuk bercerai
sebagai jalan mengakhiri segala ketidaknyamanan dan tekanan yang terjadi dalam
hubungan mereka.
          Seharusnya perceraian merupakan alternatif terakhir yang diambil oleh
pasangan suami istri, ketika semua permasalahan tidak lagi dapat diselesaikan
dengan alternatif yang lain. Kenyataannya, beberapa tahun terakhir ini kasuskasus
perceraian semakin meningkat. Sampai Agustus 2006 saja, dari 3.172 kasus
perceraian di Jakarta, sekitar 66,2%-nya merupakan kasus cerai gugat. Tingginya
angka cerai gugat ini juga dijumpai di Pengadilan Agama Bekasi, yaitu 62,9%
dari 771 kasus perceraian hingga Agustus 2006.

            Menurut M.M. Nilam Widyarini (http://kompas.com/kesehatan/news/
0503/18/110246.htm) memang ada kecenderungan yang mengarahkan perceraian
sebagai suatu tren dalam perkawinan. Tren tersebut didasari oleh pandangan
psikologi mutakhir yang menyatakan bahwa orang bisa hidup lebih bahagia
setelah bercerai. Perceraian bukan akhir kehidupan suami istri. Namun demikian,
terdapat faktor-faktor lain yang seharusnya dipertimbangkan sebelum mengambil
keputusan untuk bercerai.
          Dalam konteks keluarga, semua interaksi yang terjadi antar anggota
keluarga akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain, demikian juga dengan
perceraian. Akibat perceraian pasangan yang sebelumnya terikat dalam satu
hubungan marital dapat berdampak buruk bagi pihak anggota keluarga yang lain,
khususnya anak-anak yang lahir dari hubungan pemikahan tersebut. Orangtua
yang akan bercerai harus tetap memikirkan bagaimana membantu anak mengatasi
penderitaan akibat ayah ibunya berpisah.
          Tidak dipungkiri memang, bahwa kebahagiaan keluarga bukan sematamata
kebahagiaan bagi anak. Pasangan suami istri juga berhak merasakan
kebahagiaan dari pernikahan yang mereka bangun. Ketika pernikahan dirasa tidak
lagi mendatangkan kebahagiaan dan tidak dapat lagi menyatukan prinsip-prinsip
yang mendasar, perceraian bisa diambil sebagai alternatif pemecahan masalah.
Namun demikian, tetap harus dipahami bahwa alternatif tersebut selalu
mendatangkan konsekuensi negatif bagi seluruh anggota keluarga.
         Bagi anak, anggota terlemah dalam keluarga, perceraian selalu saja
merupakan rentetan goncangan-goncangan yang menggoreskan luka batin yang
dalam. Stres, ketakutan, kecemasan sampai dengan depresi seringkali dialami
anak-anak yang kedua orangtuanya bercerai.
         Kondisi-kondisi emosi tersebut timbul akibat rasa sakit yang timbul akibat
perceraian. Rasa sakit yang ada pada diri individulah yang kemudian menjadi
pemicu ketidakstabilan emosi. Anak akan mengembangkan kebencian pada
kejadian, ataupun pihak-pihak yang menimbulkan rasa sakit tersebut. Perceraian
tidak hanya akan menimbulkan kebencian pada kedua orang tua, tapi juga pada
dirinya sendiri. Sehingga, anak akan berusaha “menjauhi” orang tua dan dirinya
sendiri.
         Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut
adalah melalui proses pemaafan (forgiveness) terhadap pihak-pihak yang telah
menimbulkan rasa sakit yang ada. Permasalahan yang kemudian menyertai usaha
mendorong anak melakukan pemaafan adalah keterbatasan abstraksi anak
terhadap emosi yang dimiliki. Anak harus memahami kondisi emosi yang sedang
dialami, sebelum kemudian melakukan regulasi terhadap bentuk emosi tersebut,
untuk dapat melakukan pemaafan. Dengan keterbatasan kemampuan abstraksinya,
memberikan pengertian dan penjelasan bukanlah jalan yang efektif. Pretend play
merupakan salah satu jalan bagi anak untuk dapat mengubah pemahamannya
terhadap makna peristiwa yang dialaminya. Bermain merupakan representasi
dunia anak. Dengan bermain anak mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan
yang diperlukan dalam menghadapi semua permasalahan-permasalahan yang
ditemui. Melalui permainan pura-pura tersebut diharapkan dapat disampaikan
alternatif model perilaku dan pemecahaan masalah yang dihadapi dengan rasa
sakit akibat perceraian.

DAMPAK NEGATIF PERCERAIAN BAGI ANAK

         Proses perceraian, bagi anak merupakan masa dimana dia mengalami
pengalaman transgresi (pengalaman disakiti atau mendapat perlakuan tidak adil
dari diri sendiri ataupun orang lain). Stres dialami oleh anak korban perceraian
karena munculnya konflik interparental yang tinggi, terputusnya hubungan
dengan salah satu orang tua, permasalahan kesehatan fisik dan mental orang tua
dan hilangnya wibawa orang tua.

        Distres emosional akibat transgresi merupakan jalan bagi timbulnya
perasaan tertekan dan emosi negatif yang melahirkan perilaku negatif pula.
Seperti yang dikemukakan oleh Hetherington (2003) bahwa akibat langsung yang
timbul dari perceraian adalah distres emosional (internalizing disorders) dan
masalah perilaku (externalizing disorders) seperti kemarahan, kebencian,
kecemasan dan depresi.
        Bagi kebanyakan orang, stress merupakan sumber perasaan/affect negatif
yang mempengaruhi bagaimana seseorang berperilaku dan mempengaruhi apa
yang dilakukan seseorang. Stress memang sering dikatakan sebagai unique human
emotion. Stress lahir dari penilaian seseorang terhadap dunia/lingkungan
sekitarnya (subjective state). Kebanyakan respon stress memang lebih sering di
picu oleh peristiwa yang tidak terprediksi dari pada peristiwa yang terprediksi.
Namun demikian, penilaian subyektif dari individu merupakan faktor utama
dalam pemberian makna terhadap stressor. Pada primary appraisal, individu
menilai stressor dan menempatkannya dalam salah satu kategori dari tiga kategori
yang ada, yaitu: harm/loss, threat dan tantangan/challenge. Sedangkan pada
secondary appraisal individu mengevaluasi sumber-sumber coping dan pilihan
antara problem focus coping dan emosional focus coping.
        Ketika individu menilai sesuatu disekitarnya sebagai membahayakan dan
mengancam (walaupuan sebenarnya tidak), penilaian penilaian tersebut
mengaktifkan respon fight or flight nya. Bila respon fight or flight diaktifkan
dalam waktu yang lama, maka akan berpengaruh pada reaksi fisiologis maupun
psikologis kita. Secara fisiologis stress berhubungan dengan banyak gangguan
kesehatan. Salah satu penjelasan dikemukakan oleh (Salovey, Rothman, Detweiler
& Steward, 2000) yang mengatakan bahwa ketika seseorang mengalami emosi
negatif maka kekebalan tubuhnya akan menurun sebaliknya kalau seseorang
mengalami emosi positif kekebalan tubuhnya itu akan semakin kuat. Sistem
kekebalan tubuh, baik yang bersifat bawaan atau innate (non specific) dan
kekebalan yang didapat atau acquired (specific), menurun selama stress karena
tubuh melepaskan sebagian besar energi untuk respon fight or flight. Sehingga
secara spesifik, Cohen et al. (1998) mengemukakan bahwa akibat stres kekebalan
tubuh individu menurun dan menjadikannya rentan terhadap berbagai penyakit.
         Secara psikologis, individu menjadi sulit untuk memfokuskan perhatian
dan sering mengalami mood yang negatif. Kondisi yang menurunkan kemampuan
kita untuk cope dengan stress atau mempertahankan diri dari penyakit. (Salovaey
et al.,2000). Meskipun ada peningkatan fokus perhatian, tingginya intensitas stres,
sering mendorong orang untuk memfokuskan seluruh kehidupannya untuk keluar
dari situasi stress tersebut.

          Carson and Kuipers (1998) membuat sebuah Model Stres, dengan
mengemukakan tiga tingkatan dalam proses stress. Tingkatan pertama dari proses
stres adalah adanya stresor yang berasal dari sumber eksternal. Termasuk di
dalamnya adalah stressor pekerjaan yang spesifik, permasalahan hidup sehari-hari
(everyday ‘hassles’ or ‘uplifts’) yang bisa menumpuk, dan stresor yang
berhubungan kejadian-kejadian hidup utama/besar. Level kedua adalah
’moderator’, dimana terdapat beberapa faktor yang dapat menahan efek negatif
stress pada individu, yaitu : self-esteem yang tinggi, jaringan dukungan sosial
yang bagus, hardiness dan ketrampilan koping yang baik, penguasaan dan kontrol
pribadi, stabilitas emosional mekanisme pelepasan fisiologis yang bagus.
Tingkatan terakhir dari Model Stres adalah outcomes dari stress, yang bisa bersifat
positif ataupun negatif.
        Terdapat cukup bukti untuk mengungkapkan bahwa keturunan dari
keluarga yang bercerai atau menikah kembali mengalami distress dan rasa sakit
dalam bentuk yang kurang jelas dan sulit diidentifikasikan, serta tidak dapat
dideteksi dengan pengukuran standar. Dalam kondisi perceraian, bagi anak stres
yang ada sudah menjadi sesuatu yang negatif (disstress).

            Lebih jauh lagi Hetherington (2003) menyatakan bahwa hasil-hasil
penelitian tentang perceraian banyak yang mengungkapkan bahwa anak pada
keluarga yang bercerai beresiko tinggi mengalami masalah-masalah
perkembangan psikologis, tingkah laku, sosial dan akademik, dibandingkan
dengan keluarga dengan sepasang orang tua dan tidak bercerai. Peningkatan
resiko tersebut semakin besar pada anak yang mengalami multiple marital
transitions, akibat perkawinan berulangkali. Akibat terbesar dan paling konsisten
dari transisi marital akibat perceraian berkisar pada perilaku yang nampak,
tanggung jawab sosial dan akademik, serta ekonomi. Dibandingkan dengan anak
dengan sepasang orang tua yang tidak bercerai, rata-rata anak-anak pra remaja
dalam keluarga yang bercerai dan nikah kembali, menunjukkan peningkatan
tingkat agresi, gangguan etika, dan ketidakpatuhan, serta mengalami penurunan
pengaturan diri dan tanggung jawab sosial. Mereka juga memiliki etika dalam
ruang kelas yang rendah dengan didukung oleh performansi akademik yang
rendah pula. Anak-anak dalam keluarga yang bercerai dan nikah kembali juga
menunjukkan peningkatan resiko terhadap masalah-masalah internal termasuk
tingkat depresi dan kecemasan yang tinggi. Masalah yang juga mengiringi adalah
tingkat keyakinan diri yang lebih rendah dibandingkan mereka yang berada di
keluarga yang utuh. Masalah-masalah tersebut muncul seiring usaha anak
menghadapi kebingungan serta ketidakmengertian terhadap perubahan hubungan
dalam keluarga dan pergeseran kondisi kehidupan mereka.

         Dalam DSM IV (1994) edisi revisi, jelas diungkapkan bahwa perceraian
dapat menjadi fokus klinis yang perlu ditangani, yaitu sebagai masalah yang
berkaitan dengan tahap perkembangan atau masalah yang berkaitan dengan
lingkungan kehidupan seseorang.
        Distres pada anak korban perceraian jelas menimbulkan dampak negatif
lanjutan yang merugikan kesejahteraan anak. Perlu penanganan komprehensif
untuk membantu mereka mengurangi dampak atau bahkan keluar dari kondisi
distres tersebut, dengan cara yang mudah mereka pahami.

PENTINGNYA PEMAAFAN (FORGIVENESS) BAGI ANAK KORBAN
PERCERAIAN

Salah satu cara efektif untuk mengatasi stres dan berbagai gangguan
perilaku yang menyertainya adalah dengan mendorong anak melakukan pemaafan
(forgiveness) terhadap pihak yang menyebabkan transgresi.
       C.R. Snyder (2002) mengemukakan definisi pemaafan (forgiveness)
sebagai penyusunan transgresi yang dialami, dimana individu dihadapkan pada
transgressor, transgresi, dan sekuel dari transgresi, sehingga terjadi transformasi
terhadap efek negatif menjadi netral atau positif. Sumber transgresi, atau objek
dari pemaafan bisa diri sendiri, orang lain atau situasi dimana pandangan
seseorang berada pada kendali seseorang atau sesuatu (misalnya :
penyakit,’takdir’ atau bencana alam). Dengan demikian pemaafan merupakan
suatu metode respon dan coping terhadap transgresi dimana seseorang mengubah
pengaruh negatif dan memecahkan disonansi serta distress yang menyertai
beberapa kejadian kehidupan negatif.

        Dengan lebih terperinci Enright et. al. (dalam Schimmel, 2002) melihat
pemaafan sebagai suatu bentuk kesiapan melepaskan hak yang dimiliki seseorang
untuk meremehkan, menyalahkan, dan membalas dendam terhadap pelaku yang
telah bertindak tidak benar terhadapnya, dan di waktu yang bersamaan
mengembangkan kasih sayang, kemurahan hati, bahkan cinta terhadapnya.
            Pada kasus perceraian, pada umumnya memang anak menyalahkan orang
tua terhadap rasa sakit yang timbul akibat perceraian. Namun pada kasus tertentu,
anak juga menyalahkan diri sendiri dan bahkan menganggap dirinya sebagai
bagian penyebab perceraian. Dalam hal ini, anak tidak hanya perlu melakukan
pemaafan pada kedua orang tuanya, namun yang jauh lebih penting adalah
memaafkan dirinya sendiri.
             Meski dengan memberi maaf anak tetap tidak dapat merubah peristiwa
yang sudah terjadi, ia bisa merubah persepsi, emosi, asosiasi mental, dan
pemahaman akan makna dari peristiwa yang telah dialaminya (Worthington,
2003). Forgiveness (pemaafan) dapat menjadi salah satu cara untuk memfasilitasi
penyembuhan luka dalam diri seseorang dan antarpribadi yang bermusuhan dan
menyakiti. Senada dengan Snyder, Worthington (2003), juga mengungkapkan jika
korban transgresi bisa memberi maaf, ia melakukan penggantian emosi negatif
(seperti marah atau takut) dari transgresi yang telah dipersepsi individu atau
keengganan untuk memaafkan (unforgiveness) ke arah emosi positif (seperti
empati, simpati, belas kasih, cinta).
           Wallerstein (dalam Bigner, 1994) mengungkapkan bahwa berkaitan
dengan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk dapat lebih memahami proses
memaafkan, terdapat beberapa tugas psikologis anak korban perceraian yang
harus dibentuk dalam diri anak, agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan
yang dihadapinya, yaitu :

1.mengetahui kenyataan mengenai perpecahan dalam pemikahan orang tua
2.melepaskan diri dari konflik orang tua dan stres serta melanjutkan kembali
aktivitas sehari-hari
3. mengatasi masalah kehilangan
4. mengatasi kemarahan dan berhenti menyalahkan diri sendiri
5. menerima kenyataan bahwa perceraian orang tua adalah selamanya, dan
6. mencapai harapan realistis atas hubungan yang dimilikinya.
Sehingga, perlu dipahami mengenai pengetahuan dan kesadaran anak akan
kenyataan perceraian orang tuanya sebelum hal itu terjadi, termasuk konflik yang
timbul selama proses perceraian orang tua dan dampak yang ia rasakan
sesudahnya.

         Namun demikian, dari hasil penelitian Dr.Roy Baumeister (2002) dari
universitas Florida, menunjukkan bahwa terdapat dua hambatan terbesar bagi
pembentukan proses pemaafan. Pertama, pemaafan lebih sulit dilakukan pada
individu dengan kecenderungan narsistik, yang merasa bahwa mereka pantas
mendapatkan banyak hal. Mereka melihat memaafkan sebagai sesuatu yang penuh
resiko dan tidak adil, khususnya bila mereka tidak menerima “ganti rugi” atau
permintaan maaf apapun dari sang pelaku. Bentuk lain dari kecenderungan ini
adalah ketidakmampuan individu untuk melihat potensinya sendiri untuk
melakukan sesuatu yang tidak semestinya pada orang lain. Ketidakmampuan
merefleksikan bahwa dirinya bisa saja melakukan kesalahan yang dilakukan oleh
orang lain berkaitan dengan penilaian yang lebih kasar (tidak matang) dan
kesiapan yang rendah untuk memaafkan.

        Hambatan lain untuk melakukan pemaafan adalah keyakinan bahwa
memaafkan membuka kesempatan untuk disakiti kembali. Padahal penelitian
Baumeister (2002) memperlihatkan bahwa kemungkinan memaafkan benar-benar
meningkatkan resiko untuk disakiti kembali, sangat kecil. Pelaku cenderung
memberikan penghargaan atas pemaafan yang diterima, dan ekspresi yang jelas
dalam pemaafan secara nyata dapat menjadi penghalang bagi kemungkinan
melakukan penyerangan di masa mendatang.

Meskipun demikian, hambatan tersebut bukanlah harga mati bagi kita
untuk tidak membantu anak untuk membangun pemaafan. Frederic Luskin, Ph.D.,
mengemukakan sembilan langkah yang harus dibangun pada diri anak agar dapat
mengembangkan pemaafan, yaitu : 

1.Mengetahui secara pasti perasaannya tentang apa yang terjadi (dalam hal ini
perceraian orang tua) dan dapat mengungkapkan bahwa situasi tersebut tidak
mengenakkan, bahkan menyakitkan. Anak juga harus bisa menceritakan
pengalamannya tersebut kepada orang yang dapat dipercaya.

2.Membuat komitmen pada diri sendiri untuk mengerjakan apa yang harus
dikerjakan agar dapat merasa semakin baik. Pemaafan sebenarnya lebih
mengarah pada diri anak sendiri, bukan pada orang lain.

3.Pemaafan tidak selalu harus berarti rekonsiliasi dengan pihak lain yang
menyakiti anak Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah menemukan rasa
damai.

4.Dapatkan perspektif yang benar tentang apa yang terjadi. Berikan kesadaran
pada anak bahwa disstres utama yang dirasakan berasal dari rasa sakit,
pemikiran dan gangguan fisik yang diderita sekarang, bukan sesuatu yang
menyerang atau menyakitinya dua menit atau sepuluh tahun yang lalu.
Pemaafan dikembangkan untuk membantu rasa sakit tersebut.

5.Pada saat anak merasakan gangguan, lakukan teknik pengelolaan stress
sederhana , untuk menenangkan respon flight or fight dari tubuh anak.

6.Anak harus berhenti mengharapkan sesuatu dari orang lain, atau dari
hidupnya, yang memang orang lain tidak memilih untuk memberikan pada
mereka. Harapan agar orang tua tidak bercerai, padahal itu merupakan pilihan
yang telah dilakukan orang tua, hanyalah akan menambah rasa sakit pada
anak. Harus diingatkan pada diri anak sendiri bahwa mereka tetap dapat
berharap memperoleh kesehatan, cinta dan kedamaian, serta bekerja keras
untuk mendapatkannya.

7.Gunakan energi yang dipunyai anak untuk mencari jalan lain guna mencapai
tujuan positifnya, daripada menikmati pengalaman yang telah menyakitinya
atau memutar kembali rasa sakit yang ada.

8.Hidup yang lebih hidup adalah “revenge” yang terbaik. Daripada terfokus
pada perasaan yang terluka dan secara tidak langsung mengakui serta
membiarkan orang yang menyebabkan rasa sakit menguasainya, lebih baik
belajar untuk mencari cinta, keindahan dan kebaikan di sekitarnya. Pemaafan
berkaitan dengan kekuatan diri pribadi seseorang.

9.Rubah cerita menyedihkannya dengan mengingatkannya tentang pilihan
berani untuk memaafkan.
Luskin menambahkan bahwa praktek pemaafan telah terbukti dapat
mengurangi kemarahan, depresi dan stress serta mengarahkan perasaan pada
harapan, perdamaian, kasih sayang dan kepercayaan diri. Sehingga dapat diraih
hubungan yang sehat sama baiknya dengan kesehatan fisik. Pemaafan juga
mempengaruhi sikap individu sehingga terbuka hatinya pada kebaikan, keindahan
dan cinta.

PRETEND PLAY UNTUK MEMBANGUN PEMAAFAN

        Berbagai langkah membangun pemaafan diajukan oleh para ahli. Pada
anak korban perceraian semua berpangkal pada usaha mengubah dan atau
meluruskan pemahaman anak tentang perceraian. Pemahaman ini yang kemudian
menjadi dasar bagi perubahan pemaknaan anak terhadap perceraian dari negatif
menjadi netral atau bahkan positif. Kendala yang kemudian muncul adalah
kekurangefektifan usaha tersebut bila hanya mengandalkan penjelasan lisan untuk
memberikan pengertian pada anak. Abstraksi anak cukup terbatas untuk
menangkap makna yang ingin disampaikan dengan penjelasan. Anak lebih dapat
menangkap makna dari sesuatu yang lebih nyata dan dekat dengan dunia mereka,
dunia bermain.

         Anak memang tidak pernah lepas dari dunia bermain. Bermain merupakan
sarana bagi anak untuk berekspresi dan bereksplorasi secara bebas sesuai dengan
keinginannya. Oleh karena itu, wajar bila kemudian bermain dianggap sebagai
sarana yang tepat untuk mengembangkan kemampuan anak memecahkan masalah
yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Plato, berabad-abad sebelum
Psikologi Perkembangan mendapatkan perhatian khusus, telah menganggap
bermain sebagai kegiatan yang memiliki nilai praktis, artinya, bermain dapat
digunakan sebagai media untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan anak
         Pada kenyataannya, beberapa dekade terakhir,
kegiatan bermain telah menjadi dasar banyak ragam terapi, yang dikembangkan
terhadap masalah-masalah psikologis yang muncul pada perkembangan anak.
Membuat definisi yang komprehensif tentang bermain memang bukan
sesuatu yang mudah. Namun demikian, beberapa ciri dari kegiatan bermain dari
hasil penelitian Smith et al; Garvey; Rubin, Fein & Vandenberg (dalam Johnson
et al, 1999) dapat dijadikan acuan, yaitu :

1.Berdasarkan motivasi intrinsik yang muncul atas keinginan dan kepentingan
pribadi.
2.Mempunyai nilai (value) dan atau menimbulkan emosi-emosi yang positif
pada perasaaan individu-individu yang terlibat dalam kegiatan bermain.
3.Adanya fleksibilitas yang ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu
aktivitas ke aktivitas yang lain.
4.Lebih menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil akhir.
5.Adanya kebebasan untuk memilih.
6.Mempunyai kualitas pura-pura. Kegiatan bermain mempunyai kerangka
tertentu yang memisahkannya dari kehidupan nyata. Anak memberikan
“makna” baru terhadap obyek yang dimainkan dengan kecenderungan
mengabaikan keadaan obyek yang sesungguhnya. Kualitas pura-pura
memungkinkan anak bereksperimen dengan kemungkinan-kemungkinan baru.
Sebagai suatu perilaku yang menyeluruh pada manusia dan menjadi dunia
yang memberi warna dominan pada anak, bermain menjadi upaya rekreasi,
relaksasi dan interaksi sosio-emosional dengan peer group.

         Pada tahap perkembangan usia 3-5 tahun, misalnya, bermain akan
memberikan kesempatan pada anak untuk mengekspresikan fantasi dan bakat
(Smart & Smart, 1982). Anak-anak dapat menggunakan benda-benda atau situasi
untuk mengeskpresikan fantasi melalui bahasa dan tingkah laku yang berbeda.
Dengan demikian apabila anak diarahkan tidak hanya pada perkembangan faktor
kognisi saja melainkan juga pada faktor afeksi, maka anak akan berkembang
secara optimal.
          Meskipun begitu banyak bentuk permainan yang ada, menurut Hurlock
(2000), salah satu bentuk permainan yang dapat meningkatkan perkembangan
kognisi dan afeksi, adalah pretend play. Hal ini disebabkan karena dalam pretend
play anak diharuskan bermain dengan menggunakan bahasa sebagai pengantar
dan mengajarkan anak untuk bermain peran, sehingga permainan tersebut akan
merangsang aspek kognisi dan aspek afeksi. McCall dkk. (dalam Mussen, 1988)
juga menyatakan bahwa dalam pretend play anak berusaha mengambil peranan
orang lain, misalnya peran orang tua, dokter, pedagang, dan sebagainya. Secara
luas pengertian pretend play adalah bentuk permainan aktif anak-anak, yang di
tampilkan melalui perilaku dan bahasa yang jelas, serta berhubungan dengan
materi atau situasi yang seolah-olah hal itu mempunyai atribut sama dengan yang
sebenarnya.
         Menurut sifatnya pretend play dapat dibedakan menjadi dua yaitu
reproduktif dan produktif. Dalam permainan pura-pura reproduktif, anak-anak
berusaha mereproduksi situasi yang telah diamati dalam kehidupan sebenarnya
atau media massa dalam permainannya. Contoh: pura-pura menjadi orang lain
seperti ayah dan ibu, dokter,guru, koki atau meniru jagoan atau tokoh yang
diidolakan. Kalau anak merasa nyaman maka permainan ini dapat mefasilitasi
anak untuk bercerita tentang kejadian-kejadian yang dialaminya dengan berperan
sebagai tokoh yang diinginankan untuk masuk dalam alur permainan tersebut.
Pada waktu itu terjadi eksplorasi internal, self monitoring.
        Sedangkan dalam permainan pura-pura produktif, anak-anak
menggunakan situasi, tindakan dan bicara dari situasi kehidupan nyata ke dalam
bentuk baru dan berbeda. Dengan demikian akan terjadi transfer situasi yang
dialami yang semula ada dalam fantasi kemudian dipindahkan oleh anak dalam
situasi realitas yang dihadapi anak.
        Dengan demikian, melalui pretend play secara tidak langsung dapat
disampaikan alternatif model perilaku dan pemecahaan masalah disstres pada
anak korban perceraian. Anak bisa mereproduksi situasi yang telah diamati dalam
kehidupan sebenarnya akibat perceraian atau menggunakan situasi, tindakan dan
bicara dari situasi kehidupan nyata tersebut ke dalam bentuk baru dan berbeda.
Akan terjadi transfer situasi dari kondisi nyata ke dalam fantasi, kemudian
dipindahkan oleh anak dalam situasi realitas yang dihadapi anak

         Permainan pura-pura (produktif maupun reproduktif) tersebut mampu
mengeluarkan beban akibat tekanan yang dialami anak. Melalui permainan ini
anak juga dapat diarahkan untuk bisa melihat masalah perceraian dari sisi yang
berbeda. Ketika anak bermain peran sebagai orang tua, pada diri anak dapat
ditanamkan bagaimana perasaan orang tua ketika mengambil keputusan bercerai,
pertimbangan apa yang telah dilakukan dan kenapa keputusan itu pada akhirnya
tetap diambil. Empati yang kemudian mengemuka akan bisa mengarahkan dan
mendorongnya mampu melakukan pemaafan serta menghilangkan, atau paling
tidak mengrangi, stres yang dialami.

         Golomb dan Galasso (1995) menyatakan bahwa dalam bermain pura-pura
anak tetap dapat membedakan antara fantasi dan realitas. Sehingga, bukan
pemaafan semu yang kemudian dibangun dari permainan tersebut. Kepura-puraan
yang ada merupakan sarana bagi anak agar tidak mengembangkan perasaan
bersalah sudah menceriterakan perihal dirinya dan semua perasaannya. Karena,
meskipun hanya dalam permainan, suasananya merupakan reproduksi dari
suasana yang sebenarnya.
       Dengan menceritakan perasaan yang sebenarnya, anak kemudian dapat
diberikan perspektif yang benar tentang perceraian, bahwa mereka tidak
tergantung pada orang lain untuk mengatasi rasa sakit yang ada, dan dapat
mengatasinya dengan melakukan pemaafan.
       Melalui pretend play, perkembangan kognisi dapat dilihat dalam
kemampuan menangkap makna kata – kata yang diucapkan oleh teman bermain
yaitu perkembangan perbendaharaan kata yang ada serta cara mengekspresikan
secara nonverbal. Selanjutnya, mengingat perkembangan bahasa dapat digunakan
sebagai indikator perkembangan kognisi, maka dengan adanya penambahan
perbendaharaan kata berarti terjadi peningkatan dalam kognisi. Hasil studi
observasional pada pretend play anak-anak Curran (1999, h.47 –55), menyatakan
bahwa pretend play akan membuat anak mengembangkan kemampuan bernarasi,
baik ketika mengawali bermain sampai mengakhiri permainan. Sedangkan
Carruthers (2002, h.225-249) menyatakan bahwa pretend play pada anak
memiliki dasar perkembangan kognitif sama dengan berpikir kreatif dan
kemampuan memecahkan masalah orang dewasa.
        Perkembangan afeksi anak dalam pretend play dapat dilihat dari
kemampuan anak dalam menangkap keinginan teman bermain, dalam memainkan
peran, serta dalam mengekspresikan emosi sesuai keadaan yang ada.
Perkembangan afeksi anak akan nampak secara keseluruhan dalam kematangan
sosial dan juga di saat anak mengekspresikan emosinya dalam situasi sosial atau
dalam situasi ” pura-pura”. Dengan demikian, sesuai dengan yang dilakukan
dalam pretend play, maka anak akan belajar melatih emosinya dalam hal ini
afeksinya anak ketika menghadapi situasi sosial yang ada. Ketrampilanketrampilan
dalam menghadapi situasi sosial akan lebih membuat anak
berkembang aspek afeksinya, dan akan nampak dalam kematangan sosial.

        Kemampuan melakukan regulasi emosi inilah yang diharapkan terbentuk
dari permainan pura-pura. Anak dapat diarahkan untuk terjebak menikmati rasa
sakit yang ada dan memberikan makna positif atas apa yang sedang dirasakan.
Dengan perkembangan afeksi yang mengarah kepada kematangan social, anak
dapat mengembil perspektif orang lain terhadap perceraian, khususnya perspektif
orang tua. Pretend play mengharuskan anak untuk aktif menerima respon dari
teman yang lain dan mengontrol peran yang dia mainkan. Kondisi yang demikian
ini akan menyebabkan anak mengetahui kategori sosial dan peran sosial serta
dapat mengontrol diri, sehingga anak dapat mengarahkan diri pada pemaafan pada
dirinya, pihak lain yang terlibat dalam perceraian, menuju kematangan diri.

        Mulai usia 3 tahun, Smith (1978) menyatakan bahwa, anak menunjukkan
kesadaran yang lebih besar pada kepura-puraannya dan cenderung untuk meniru
orang lain secara menyeluruh. Mereka menjadi ayah dan ibu dengan segala
perilaku dan juga kadang atribut yang dikenakan oleh orang yang lebih dewasa.
Kemampuan imitasi penuh tersebut merupakan faktor yang dapat dioptimalkan
perannya dalam melihat dan memahami disstres orang tua, yang membantu anak
juga ketika membangun pemaafan.

Menurut McCune-Nicolich (dalam Cohen, 1993) terdapat beberapa
tahapan perkembangan dalam pretend play. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai
berikut.

1. Tahap 0, Pola Prasimbolis.
Anak tidak melakukan pretend play. Anak menunjukkan pemahaman terhadap
penggunaan objek dan bentuk objek. Sifat dari objek lebih dianggap sebagai
stimulus yang serius oleh anak daripada sebagai alat permainan

2. Tahap 1, Pola Simbolis Untuk Diri
Dalam melakukan pretend play anak sudah dapat melihat keterkaitan langsung
antara mainan dengan dirinya. Anak siap untuk bermain dan menampakkan
kesadaran bahwa permainan itu hanya pura-pura.

3. Tahap 2, Permainan Simbolis Berpola Tunggal
Anak mengembangkan permainan dalam kondisi di luar aktivitasnya sendiri,
yaitu anak mulai memainkan peran atau aktivitas orang ataupun objek lain.

4. Tahap 3, Permainan Simbolis Kombinasi
Dalam kondisi ini anak dapat melakukan pola kombinasi tunggal yaitu
memainkan satu pretend play yang berhubungan dengan beberapa aktor. Anak
dapat pula memainkan pola kombinasi beragam yaitu beberapa peran yang
berhubungan satu dengan yang lain dan ada dalam satu rangkaian.

5. Tahap 4, Permainan Simbolis Terencana
Anak menunjukkan pola perilaku secara verbal dan non verbal, berinteraksi
dengan peran dan aktivitas anak lain secara baik.

         Berdasarkan tahap-tahap tersebut di atas terlihat bahwa pretend play dapat
dikategorikan sebagai permainan individual maupun permainan kelompok. Stase
0-2 anak memainkan permainan secara individual, dan pada stase 3 dan 4 anak
memainkannya secara kelompok. Tahapan stase tersebut dapat dimanfaatkan
untuk membangun pemaafan dalam dua tahap. Pertama, ketika memainkan
permainan secara individual anak dapat diarahkan untuk melakukan ekstraversi
perasaannya, introspeksi atas apa yang dirasakan dan dilakukan, serta membangun
pemaafan pada dirinya sendiri. Sedangkan pada stase permainan kelompok
diperlihatkan bagaimana orang lain melihat masalah yang ada, apa yang mereka
rasakan, bagaimana mensikapi perasaan orang lain tersebut, serta
mengembangkan pemaafan pada mereka. Jenis permainan yang diberikan dalam
pretend play, meskipun dengan tujuan yang sama, memang tetap harus
disesuaikan dengan usia perkembangan anak.

KESIMPULAN

       Pemaafan sangat dibutuhkan bagi anak untuk mengelola dan
menanggulangi disstres yang dirasakan. Alur yang ditawarkan oleh pemaafan
mengarahkan anak untuk menekankan jalan damai dan cinta kasih untuk
mengatasi rasa sakit yang dialami. Anak tidak lagi menimpakan beban kesalahan
pada orang lain, dan dapat melihat bahwa hal yanglebih penting adalah berusaha
mencapai perasaan dan kondisi damai itu sendiri. Mullet, Barros, Frongia, Usai,
Neto, dan Shafighi (2003) dengan menggunakan faktor analisis, mendapatkan tiga
aspek kesiapan memaafkan, yaitu pemaafan versus balas dendam, situasi pribadi
dan sosial, dan halangan terhadap pemaafan. Dengan pemaafan yang dilakukan
berarti anak mampu menggunakan sensitivitas pribadi dan sosialnya untuk
mengatasi halangan untuk melakukan pemaafan dan menolak balas dendam
sebagai pemecahan masalah.
        Pretend play merupakan jalan yang familiar dengan dunia anak-anak,
dalam membangun pemaafan pada anak korban perceraian. Melalui permainan
pura-pura anak dapat dengan suka rela mengungkapkan apa yang dirasakan,
melakukan regulasi emosi, serta melakukan pemaafan. Pendekatan yang sesuai
dengan dunia anak dapat meminimalkan penolakan anak-anak terhadap cara dan
tujuan perubahan perilaku yang diharapkan. Meskipun demikian, memilih teknik
permainan pura-pura, harus memperhitungkan kesesuaiannya dengan tahap
perkembangan kognisi dan sosio-emosi anak.

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar